“FOLKLOR LISAN”
KOTA KUDUS
Pengampu:
Drs.Y Suwanto,M.Hum
Disusun Oleh :
Nama : Catur Widyaningrum
NIM : 0850900241
Ekstensi : Juwana
UNIVERSITAS VETERAN BANGUN NUSANTARA SUKOHARJO
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH
Jl.Sujono Humardani /Telp (0271)5915 Sukoharjo 57521
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ” Folklore Lisan
Kota Kudus”.Makalah ini di buat dalam rangka memenuhi tugas yang diberikan oleh
Drs.Y Suwanto, M.Hum,pengampu Mata Kuliah Folklore.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
tak terhingga terutama kepada :
1.Teman-teman sesama peserta pelatihan yang selalu memberikan semangat dan
dukungan kepada penulis.
2.Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan yang telah membantu
penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki
makalah ini di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat terutama bagi penulis danbagi
pembaca pada umumnya. Akhirnya kepada Allah jugalah semuanya kita kembalikan.
Juwana, Januari 2009
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR ................................ ................................ .......................... ii
DAFTAR ISI................................ ................................ ................................ ......... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................ ................................ .................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Kota Kudus ................................ ................................ 3
B. Perkembangan Kota Kudus ................................ ................................ ...... 5
C. Sosial Budaya ................................ ................................ .......................... 6
BAB III MANFAAT ................................ ................................ ............................ 10
BAB IV PENUTUP ................................ ................................ .............................. 11
LAMPIRAN GAMBAR
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi kedua), folklor
didefinisikan sebagai adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan
secara turun- temurun, tetapi tidak dibukukan. Atau, ilmu adat-istiadat tradisional
dan cerita rakyat yang tidak dibukukan.
Indonesia adalah negara kepulauan yang tersebar dari sabang sampai
meureuke. Pantaslah bahwa Indonesia merasa begitu bangga dengan kekayaan
yang ia miliki. Indonesia memiliki banyak suku, bahasa dan budaya. Kebanggan
itu terangkai dalam lirik-lirik lagu yang sering dikumandangkan dibangku
sekolah. Indonesia memiliki lambang negara burung garuda. Garuda merupakan
kegagahan dan kewibawaan bangsa Indonesia dimata dunia. Semboyan yang
berbunyi “Bhineka Tunggal Ika”, merupakan pemersatu dari keberagaman yang
dimiliki Indonesia.
“Kebudayaan Indonesia adalah satu kondisi majemuk karena ia
bermodalkan berbagai kebudayaan lingkungan wilayah yang berkembang menurut
tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri. Pengalaman serta kemampuan wilayahwilayah
itu memberikan bentuk, shape, dari kebudayaan itu. Juga proses
sosialisasi yang kemudian dikembangkan dalam kerangka masing-masing kultur
itu memberi warna kepada kepribadian yang muncul dari lingkungan budaya itu.”
(Umar Kayam: “Seni, Tradisi, Masyarakat”; 16)
Kekayaan budaya membuat Indonesia memiliki begitu banyak daya
tarik. Daya tarik tersebut harus diperkenalkan sehingga tiap daerah bisa saling
berinteraksi dan sama-sama merasa bangga. Kebanggaan tersebut tertuang pada
peringatan hari-hari kebesaran seperti Hari Kebangkitan Nasional dan Hari
Kemerdekaan,sehingga kita bisa mengenal tari Saman dari Aceh, dari Kecak dari
Bali, budaya Tana Toraja, Upacara Ngaben di Bali, Angklung di Jabar,
peninggalan candi Borobudur dan peninggalan budaya lainnya.
2
Indonesia memang dikenal sebagai negara yang kaya akan kebudayaan.
Sepertinya, kebudayaan adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan lagi dari bangsa
ini. Kebudayaan hadir sebagai salah satu identitas bangsa. Bangsa yang memiliki
kekhasan dan keunikan tersendiri.
Jika kita bicara masalah folklor, maka tidak akan pernah habisnya.
Indonesia memiliki banyak sekali folklor yang telah berkembang dari dulu hingga
sekarang. Mulai dari upacara adat, perkawinan, legenda, cerita adat, hantu, dan
makanan khas di masing-masing daerah. Tentunya, semua folklor yang
berkembang membuat Indonesia menjadi bangsa yang arif dan berbeda dengan
bangsa lainnya.
Folklore dapat ditemukan pada setiap masyarakat tradisional di belahan
dunia manapun. Hanya bentuknya saja yang berbeda-beda. Hal itu terjadi karena
adanya batas spasial dan temporal. Dua batas itu membuat folklore suatu
masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda. Setiap folklore memiliki ciri khas
masing-masing, meskipun secara garis besar folklore mempunyai satu ciri umum,
yaitu milik bersama. Masyarakat Kudus sejak masa-masa awal kelahirannya
hingga menjadi masyarakat modern seperti sekarang, memiliki folklore-nya
sendiri. Untuk memahami lebih jelas mengenai folklore lisan kota kudus , kapan
berkembangnya, mengapa berkembang, dimana berkembangnya, siapa yang
mengembangkannya, bagaimana bentuk-bentuknya, dan apa kegunaannya, saya
mencoba membuat tulisan yang mengkaji folklore lisan kota kudus . Tulisan saya
ini mengkhususkan kajian pada folklore lisan kota kudus berupa sejarah
berdirinya kota kudus beserta tradisi tradisi yang menjadi ciri khas kota kudus.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah berdirinya Kota Kudus
Kota Kudus, terletak di bagian utara propinsi Jawa tengah, di lereng
Gunung Muria, sekitar 50 km dari Semarang, ibukota Jawa tengah. Kabupaten
Kudus termasuk kabupaten kecil dari segi luasnya, tetapi cukup ramai, dengan
didukung adanya beberapa industri, terutama industri rokok kretek, sehingga
Kudus juga biasa disebut Kota Kretek. Selain itu juga ada industri kertas, textil,
dan elektronika. Kudus juga merupakan kota perdagangan bagi daerah sekitarnya
(karesidenan Pati) dengan adanya pasar yang cukup besar dan 2 buah mal.
Mengenai asal usul nama Kudus menurut dongeng / legenda yang hidup
dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi
naik haji sambil menuntut ilmu di Tanah Arab, kemudian beliau pun mengajar
pula di sana. Pada suatu masa, di Tanah Arab konon berjangkit suatu wabah
penyakit yang membahayakan, penyakit tersebut menjadi reda berkat jasa Sunan
Kudus. Oleh karena itu, seorang amir di sana berkenan untuk memberikan suatu
hadiah kepada beliau, akan tetapi beliau menolak, hanya sebagai kenangkenangan
beliau meminta sebuah batu. Batu tersebut menurut sang amir berasal
dari kota Baitul Makdis atau Jeruzalem (Al Quds), maka sebagai peringatan
kepada kota dimana Ja’far Sodiq hidup serta bertempal tinggal, kemudian
diberikan nama Kudus.
Diversi lain diceritakan bahwa Kudus berasal dari kata Al-Quds, yaitu
Baitul Mukadis, sebuah nama saat tempat itu dinyatakan sebagai tempat suci oleh
Sunan Kudus. Nama sebelumnya adalah Tajug ( Tajug adalah bentuk atap
arsitektur tradisional yang sangat kuno dipakai untuk tujuan keramat ), atau dapat
disebut juga bangunan makam. Dengan demikan kota Tajug dulunya sudah
memilki sifat kekeramatan tertentu.
Lahirnya kota kudus tidak dapat dipisahkan dari nama sesepuh tertua
yang pertama-tama menggarap tempat tersebut, yaitu Kyai Tee Ling Sing. Beliau
adalah mubaligh Islam dari Yunan, yang datang bersama - sama dengan seorang
4
pemahat / pengukir ulung bernama Sun Ging An ( Kemudian menjadi kata kerja
nyungging yang berarti mengukir, daerah ukir mengukir dijaman purbakala ini
kemudian menjadi desa Sunggingan ). Kyai Tee Ling Sing kemudian bersama -
sama dengan pendatang Ja ' far Shodiq ( sunan Kudus ) secara bertahap berhasil
menguasai daerah kudus dan mengembangkanya.
Di kota Kudus terdapat bangunan bersejarah yang mempunyai arti
penting bagi masyarakat setempat .Bangunan itu dikenal dengan sebutan Menara
Kudus. Menara ini merupakan bangunan monumental yang bernilai arkeologis
dan historis tinggi. Dari aspek arkeologis, Menara Kudus merupakan bangunan
kuno hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Jawa dan Islam. Menara Kudus dibangun
oleh Syeh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus, salah seorang dari Wali Songo) pada
tahun 1685 M yang disimbolkan dalam candrasengkala “Gapuro rusak ewahing
jagad” yang bermakna tahun Jawa 1609 atau 1685 M.
Bentuk konstruksi dan gaya arsitektur Menara Kudus, yang tingginya
sekitar 17 meter, mirip dengan candi-candi Jawa Timur era Majapahit – Singosari
dan juga menyerupai menara Kulkul di Bali, sehingga Menara Kudus menjadi
simbol “Islam Toleran”, dalam arti Sunan Kudus menyebarluaskan agama Islam
di Kudus dengan tetap menghormati pemeluk agama Hindu-Jawa yang dianut
masyarakat setempat. Bentuk fisik Menara Kudus adalah tinggi dan ramping yang
dibangun dengan bahan batu-bata merah yang disusun dan dipasang bertumpukan
tanpa semen perekat.
Bangunan Menara Kudus tidak dapat dipisahkan dengan Masjid Menara
Kudus (Masjid Al-Aqsho) dan Makam Sunan Kudus karena secara geografisfungsional
ketiganya merupakan satu kesatuan yang inherent dengan sejarah
berdirinya Kota Kudus.
Obyek Wisata Ziarah ini setiap hari sangat ramai dikunjungi peziarah
dari berbagai daerah, terutama pada moment Upacara “Buka Luwur”
(Penggantian kain kelambu penutup makam Sunan Kudus) yang dilaksanakan
setiap tanggal 10 Muharrom/Syuro. Peristiwa menarik dalam Upacara Buka
Luwur adalah ketika para pengunjung/peziarah berupaya memperoleh nasi
bungkus selamatan dan kain luwur bekas penutup makam yang konon dipercaya
5
dapat memberikan keberuntungan bagi yang memperolehnya. Selain “Buka
Luwur”, kawasan Menara Kudus juga menjadi pusat keramaian pada saat
“Dhandhangan” yaitu tradisi menyambut datangnya bulan Romadlon / bulan
Puasa.
Di kawasan Menara Kudus, para pengunjung dapat menikmati makanan
khas Kudus, yaitu Soto Kudus dan Jenang Kudus. Sedangkan cinderamata khas
Kudus adalah Kain Bordir Kudus (busana muslimah, kerudung, kebaya, dll.).
B. Perkembangan Kota Kudus.
Dengan bertambahnya usia,daerah Kudus semakin berkembang seperti
daerah lainya.Secara etnis sosiologis perkembangan pemukiman di Kudus dapat
dikelompokkan dalam beberapa daerah diantaranya adalah:
a. Kudus Kulon .
Daerah ini dikenal sebagai kota tertua atau kota kuno sebab daerah ini merupakan
pusat kota pada zaman dulu.Daerah ini meliputi 3 wilayah diantaranya adalah :
1. Pusat Kota Lama , daerah ini terdiri dari 7 desa diantaranya :
•Desa Kauman
• Desa Kerjasan
• Desa Langgar Dalem
• Desa Demangan
• Desa Janggalan
• Desa Damaran
• Desa Kajeksan
2. Daerah Pinggiran Kota,daerah ini terdiri dari 4 desa diantaranya :
• Desa Krandon
• Desa Singocandi
• Desa Purwosari
• Desa Sunggingan
b. Kudus Wetan
Daerah kudus wetan ini terdiri dari 3 daerah yaitu:
6
1. Daerah Cina : di daerah ini sebagian besar penduduknya keturunan
dari cina ( komunitas orang tionghua),meliputi 3 desa yaitu :
• Desa Panjunan
• Desa Kramat
• Desa Wergu Kulon
2. Daerah Priyayi terdiri dari 3 desa yaitu :
• Desa Nganguk
• Desa Glantengan
• Desa Barongan
3. Daerah Abangan terdiri dari 5 desa diantaranya :
• Desa Mlati Kidul
• Desa Mlati Lor
• Desa Mlati Norowito
• Desa Rendeng
• Desa Wergu Wetan
4. Desa - Desa Lainya :
• Desa Demaan
• Desa Burikan
• Desa Kaliputu
C. Sosial Budaya
Melacak Tradisionalisme di Kudus berarti melacak sosial budaya saat ini
dan yang lalu untuk mendapatkan gambaran yang tidak terputus. Dan
tradisionalisme ini jelas adalah kontinuitas pada lingkungan kota lama, yaitu
Kudus Kulon.Priyayi Kudus adalah Aristokrat keturunan Sunan Kudus, yang
diberi gelar oleh pemerintah kolonial dan sebenarnya tidak disenangi oleh
mereka, Umumnya mereka tidak kaya, memilih bekerja sebagai pedagang,
pengrajin, mubaligh dari pada sebagai pegawai negeri. Orientasi budaya adalah
santri.. Sebagian besar orang - orang Kudus Kulon tinggal di rumah - rumah
besar, para generasi lama membangun kekayaan mereka dengan cara hidup
sederhana, bekerja keras, menjadi usahawan yang ulung dan santri yang saleh,
7
agak kurang percaya dengan pendidikan ala barat kecuali pendidikan Islam
tradisional. Pada periode puncak kemakmuran mereka, mereka cenderung
menjadi bangsawan borjuis yang sadar bahwa dengan mereka bertentangan
dengan pegawai priyayi dan elite priyayi.
Selain hal tersebut ,masyarakat kudus juga mempunyai banyak tradisi
,akan tetapi tradisi yang menjadi ciri khas dari masyarakat kudus adalah :
a. Tradisi buka Luwur
Tradisi buka luwur ini merupakan upacara penggantian luwur atau kain
mori yang digunakan untuk membungkus jirat,nisan dan cungkup makam Sunan
Kudus.Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada tanggal 10 Muharam .Tradisi ini
sebenarnya acara pemasangan luwur baru,akan tetapi sejak 6 tahun terakhir buka
luwurnya dilakukan pada tiap tanggal 1 Muharam.Puncak acara buka luwur ini
memberikan kesan bagi masyarakat bahwa pada tanggal itulah hari wafatnya
Sunan Kudus. Kesan tersebut timbul karena rangkaian acara pemasangan luwur
selalu ditandai dengan acara tahlilan,yang identik dengan acara haul pada
umumnya.Pada hal sebenarnya tanggal itu bukan tanggal wafatnya Sunan
Kudus.Tanggal wafatnya Sunan Kudus sendiri tidak ada yang mengetahui secara
pasti.Namun ada yang memperkirakan ,Sunan Kudus wafat sekitar tahun 1555
Tu.Dengan begitu ,acara buka luwur sebenarnya merupakan upacara haul yang
dikemas untuk menghindari anggapan masyarakat bahwa tanggal 10 Muharam
adalah tanggal wafatnya Sunan Kudus.
Biasanya pada malam tanggal 10 Muharram digelar tahlil dan pengajian
umum.Puncak acara buka luwur adalah pada tanggal 10 Muharram,yaitu
pemasangan pemasangan luwur baru .Acara Buka Luwur yang berpusat di Tajug
(joglo tempat penerimaan tamu) itu dilakukan dengan beberapa prosesi
,diantaranya adalah pembacaan riwayat Sunan Kudus,Dilanjutkan dengan
pembacaan tasbih bersama sama. Rangkaian prosesi di Tajug ini diakhir dengan
pemasangan luwur baru dan ditutup dengan pembacaan tahlil berikut doanya.Pada
hari yang sama , masyarakat ikut berpesta dengan memperebutkan makanan
8
berupa nasi dan daging yang dibungkus daun jati. Masyarakat bersusah payah
untuk mendapatkan nasi dan daging tersebut,sebab makanan tersebut dianggap
memiliki berkah dan banyak mengandung khasiat dapat menyembuhkan penyakit.
Walaupun hanya mendapatkan sedikit,nasi tersebut biasa disebut dengan “ sego
mbah sunan.Setelah acara penggantian kelambu dan pembagian nasi tersebut
,berakhir sudah upacara Buka Luwur.Akan tetapi setelah penggantian kelambu
tersebut biasanya kain mori/luwur/kelambu tersebut di potong kecil kecil dan
dibagikan kepada masyarakat yang hadir dalam acara tahlilan itu. Masyarakat
berebut untuk mendapatkannya karena masyarakat setempat percaya bahwa kain
mori/luwur Sunan Kudus dapat mendatangkan rizki bila disimpan.Selain itu juga
ada sebagian masyarakat yang percaya bahwa kain mori tersebut dapat dijadikan
jimat untuk melindungi diri dari malapetaka.
b. Tradisi Dandangan
Perayaan tradisi "Dandangan" merupakan sebuah tradisi di kota Kudus
yang diadakan menjelang kedatangan bulan suci Ramadan. Dandangan
merupakan pasar malam yang diadakan di sekitar Menara Kudus, sepanjang jalan
Sunan Kudus, dan meluas ke lokasi-lokasi disekitarnya. Pada tradisi dandangan
ini diperdagangkan beraneka ragam kebutuhan rumah tangga mulai dari peralatan
rumah tangga, pakaian, sepatu, sandal, hiasan keramik sampai dengan mainan
anak-anak serta makanan dan minuman.
Tradisi ini sudah ada sejak 450 tahu yang lalu atau tepatnya zaman Sunan
Kudus (Syeh Jakfar Shodiq, salah satu tokoh penyebar agama Islam di Jawa).
Pada saat itu, setiap menjelang bulan puasa, ratusan santri Sunan Kudus
berkumpul di Masjid Menara menunggu pengumuman dari Sang Guru tentang
awal puasa. Para santri tidak hanya berasal dari Kota Kudus, tetapi juga dari
daerah sekitarnya seperti Kendal, Semarang, Demak, Pati, Jepara, Rembang,
bahkan sampai Tuban, Jawa Timur. Karena banyaknya orang berkumpul, tradisi
dandangan kemudian tidak sekadar mendengarkan informasi resmi dari Masjid
Menara, tetapi juga dimanfaatkan para pedagang untuk berjualan di lokasi itu.
9
Para pedagang itu tidak hanya berasal dari Kudus, tetapi juga dari berbagai
daerah sekitar Kudus, bahkan dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Mereka biasanya
berjualan mulai dua minggu sebelum puasa hingga malam hari menjelang puasa.
c. Tradisi Larangan Masyarakat Kudus Kulon untuk penyembelihan sapi
Adanya mitos (baca: kesepahaman) akan larangan masyarakat kudus
Kulon untuk menyembelih sapi, yang sampai sekarang masih berlaku. Dalam
dimensi sejarah, mitos ini berawal dari penyebaran Islam yang dilakukan oleh
sunan Kudus. Pada saat itu, realtitas masyarakat Kudus adalah budaya jawa yang
yang bercorak Hindu. Budaya Hindu punya kepercayaan penskralan terhadap sapi
sebagai hewan yang suci. Untuk menarik simpati, sunan Kudus kemudian
menambatkan sapi di depan masjid. Bukan hanya itu saja, menurut cerita, Sunan
Kudus juga tidak memakan daging sapi. Hal ini kemudian diikuti oleh para
pengikutnya dan murid-muridnya, hingga akhirnya terbangun sebuah tradisi untuk
tidak menyembelih binatang sapi, sebagai penghormatan dan penghargaan
terhadap masyarakat Hindu. Sampai sekarang mitos tersebut masih di percayai
dan di pegang teguh. Menurut masyarakat, bila ada orang Kudus Kulon yang
melanggar pantangan tersebut, maka akan mendapatkan bala’ atau petaka.
Terlepas dari benar tidaknya mitos dan kepercayaan tersebut, yang jelas
ada semacam “ kearifan lokal” yang di lakukan Sunan Kudus, dalam rangka
mewujudkan masyarakat multikultural untuk hidup bersama secara damai. Di sini
kita memahami multikulturalisme bukan sebagai bagian dari dogma agama atau
kepercayaan tertentu, tapi lebih sebagai condition sine quo none, pra sarat untuk
mewujudkan equilibrium masyarakat.
11
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari semua uraian diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap
masyarakat mempunyai sejarah, kebudayaan, kesenian, tradisi, dan adatistiadatnya
masing-masing. Folklore sebagai salah satu kebudayaan dimiliki oleh
setiap masyarakat, termasuk masyarakat Kudus. Folklore berkembang secara lisan
maupun perbuatan. Folklore biasanya disampaikan dari generasi tua kepada
generasi muda. Sementara sejarah berdirinya suatu tempat ( legenda) serta mitos
sebagai bagian dari folklore, merupakan folklore lisan yang disampaikan melalui
tradisi lisan. Semuanya mempunyai arti dan kegunaan yang sangat penting bagi
pembangunan dan pendidikan.
LAMPIRAN GAMBAR
MENARA KUDUS SUNAN KUDUS
Tempat parkir di menara Kudus
Pintu masuk ke Makam Sunan Kudus
Menara kudus dan masjid Al Manar
Makam Sunan kudus dan para peziarah Makam Sunan Kudus
Ritual Buka Luwur Ritual Buka Luwur
DAFTAR PUSTAKA
www.djokosantoso.com
http://pantangpulangsebelumpadam.blogspot.com
http://kelompok-clover.blogspot.com
http://ryanra.wordpress.com
http://belajarsejarahsosial.blogspot.com/
http://www.geocities.com/
http://kudus-city.4t.com/sejarah/s-all.htm
http://kudus-city.4t.com/sejarah/s-all2.htm
http://kudus-city.4t.com/sejarah/s-wali.htm
http://kudus-city.4t.com/sejarah/s-all3.htm
http://kudus-city.4t.com/sejarah/s-all4.htm
http://aspirasi.blogjurnalistikonlain.com/wordpress/wphttp://
images.google.co.id/imgres
http://www.central-java-tourism.com/images/tujuan/sejarah-menarakudus.jpg
http://lh3.ggpht.com/_KU8q7HdkbqU/R7z9k_c_TFI/AAAAAAAAAaY/zSJNMr
gUGyc/makam+sunan+kudus.jpg
http://www.asmakmalaikat.com/images/makam_sunan_muria.jpg
http://farm3.static.flickr.com/2195/2229079543_774d20baa0.jpg?v=0
-
SUGENG RAWUH
SUGENG RAWUH DUMATHENG SEDHEREK SEDANTEN..
Categories:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Untuk tambahan informasi terkait postingan di atas bisa juga lihat di link : http://pena.gunadarma.ac.id/filosifi-konsep-njowo/